Tujuan Pembelajaran :
(1) Memaparkan
hubungan hukum perjanjian dan perikatan.
(2) Memaparkan
asas-asas hukum perjanjian.
(3) Memaparkan
syarat sahnya perjanjian.
(4) Memaparkan
jenis-jenis hukum perjanjian.
(5) Memaparkan
berakhir atau terhapusnya hukum perjanjian.
PEMBAHASAN
2.1
Hubungan Perjanjian dan Perikatan
Perikatan adalah
suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan hubungan
tersebut pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut (Subekti, 1985:1).
Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur atau pihak berpiutang.
Sementara, pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan disebut debitur atau
pihak yang berutang. Hubungan antara dua pihak tersebut merupakan hubungan
hukum yang berarti bahwa hak kreditur atau berpiutang dijamin oleh hukum atau
undang-undang. Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi secara sukarela,
kreditur dapat menuntutnya di depan hakim.
Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) berbunyi “Suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Lebih
lanjut, perjanjian menurut Subekti (1985:1) adalah suatu peristiwa ketika
seseorang berjanji kepada orang lain atau ketika dua orang itu saling berjanji
untuk melakukan suatu hal.
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa hubungan antara perikatan dengan
perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber
perikatan, di samping sumber-sumber lainnya. Selain itu, dapat diketahui bahwa
perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu
hal yang konkret atau suatu peristiwa.
2.2
Asas-Asas Hukum Perjanjian
Asas-asas hukum
merupakan dasar atau pokok karena bersifat fundamental. Asas-asas yang dikenal
di dalam hukum perjanjian klasik sebagai berikut.
1. Asas
kebebasan berkontrak (contracts vrijheid)
Asas
ini memperbolehkan setiap masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi
apapun asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
undang-undang. Bahkan diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang
menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dalam buku III KUHPerdata.
Budiono (2009:44) menguraikan asas kebebasan berkontrak yang
isinya memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1) membuat
atau tidak membuat perjanjian;
2) mengadakan
perjanjian dengan siapapun;
3) menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4) menentukan
bentuk perjanjian, yaitu secara tertulis atau lisan.
Keempat hal tersebut boleh dilakukan,
namun tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan.
2.
Asas Konsensualisme
Perjanjian
berdasarkan asas konsensualisme menyatakan perjanjian sudah sah apabila sudah
sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan oleh undang-undang diharuskan adanya
formalitas-formalitas tertentu. Misalnya, perjanjian penghibahan benda tidak
bergerak (tanah) yang harus dilakukan dengan akta notaris. Jadi, perjanjian
tersebut harus dalam bentuk tertulis.
3. Asas
Pacta Sunt Servanda
Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Asas ini melandasi pernyataan bahwa sebuah perjanjian akan
mengakibatkan suatu kewajiban hukum sehingga pra pihak terikat untuk
melaksanakan kewajiban tersebut.perjanjian dibuat sendiri oleh para pihak dan
mereka juga yang menentukan isinya serta cara pelaksanaannya. Perjanjian yang
dibuat secara sah tersebut memunculkan akibat hukum yang sama dengan
undang-undang bagi para pihak. Jadi, apabila salah satu pihak tidak atau lalai
melaksanakan kewajibannya menurut perjanjian maka pihak lainnya yang dirugikan
atau dilanggar haknya akan mendapat perlindungan secara hukum dari negara yang
bersangkutan melalui pengadilan.
4. Asas
Kepribadian (Personalitas)
Asas
kepribadiaan disimpulkan dari Pasal 1315 KUHPerdata yang berbunyi “Pada umumnya
tiada seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.” Perikatan hukum
yang dihasilkan oleh suatu perjanjian hanya mengikat orang-orang yang membuat
perjanjian dan tidak mengikat orang lain atau orang ketiga yang tidak mempunyai
sangkut paut dengan perjanjian tersebut (Subekti, 1985:30). Seseorang tidak
diperbolehkan membuat perjanjian yang meletakkan kewajiban bagi pihak ketiga
atau orang lain tanpa adanya kuasa dari pihak ketiga tersebut. Dalam asas
kepribadian, berlaku dua pengecualian sebagai berikut.
(1) Janji
untuk pihak ketiga
Pada
janji ini, seseorang membuat suatu perjanjian yang isinya menjanjikan hak-hak
bagi pihak ketiga/ orang lain.
(2) Perjanjian
Garansi
Seseorang
membuat perjanjian dengan orang lain, sebut saja A dan B. Dalam perjanjian, A
menjanjikan bahwa orang lain (C) akan berbuat sesuatu dan A menjamin bahwa C
pasti akan melaksanakan. Akan tetapi, jika C tidak melaksanakan sesuatu hal
yang disebutkan dalam perjanjian maka A bertanggung jawab untuk melakukan
kewajiban C tersebut. Perjanjian ini lazim dipraktikkan dalam perbankan.
5. Asas
Iktikad Baik
Silondae
dan Fariana (2010:12) mengemukakan bahwa semua perjanjian yang dibuat harus
dilandasi dengan iktikad baik (in good
faith). Pengertian iktikad baik mempunyai dua arti, yaitu:
(1) perjanjian
yang dibuat harus memperhatikan norma-norma kepatutan dan kesusilaan;
(2) perjanjian
yang dibuat harus mencerminkan suasana batin yang tidak menunjukkan adanya
kesengajaan untuk merugikan pihak lain.
2.3
Syarat Sahnya Perjanjian
Kitab
Undang-Undang Perdata di dalam Pasal 1320 telah menetapkan syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan diri (kata sepakat);
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan (kecakapan);
3. Hal
tertentu;
4. Sebab
yang halal;
5. Akibat
hukum syarat tidak terpenuhi.
Kata
Sepakat
KUHPerdata tidak
menjelaskan apa yang dimaksud dengan sepakat. Untuk memperoleh penjelasan
mengenai hal tersebut, Subekti (1985:17) menguraikan bahwa kedua pihak yang
mengadakan perjanjian harus sepakat, setuju, atau seia sekata mengenai hal-hal
yang pokok dalam perjanjian yang dibuat. Apa yang dikehendaki dari pihak yang
satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu secara
timbal balik, misalnya penjual mengiginkan sejumlah uang dan pembeli
menginginkan sejumlah barang dari penjual. Untuk mewujudkan suatu kesepakatan,
tidak cukup bahwa keinginan atau keputusan sudah diambil oleh para pihak.
Kehendak dan keputusan harus disampaikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang
lain secara timbal balik.
Pernyataan
kehendak oleh salah satu pihak adalah penawaran (offer) yang disampaikan kepada mitranya. Sebaliknya, pernyataan
kehendak oleh mitranya yang menerima penawaran tersebut merupakan penerimaan (acceptance). Pernyataan dan penerimaan
pada prinsipnya tidak digantungkan pada bentuk tertentu. Lebih lanjut,
pernyataan kehendak dapat dberikan secara tegas.
Pasal 1321
KUHPerdata memberikan penegasan bahwa sebuah perjanjian tidak memenuhi syarat
kesepakatan apabila kesepakatan tersebut diberikan karena kekhilafan, paksaan,
atau penipuan. Lebih lanjut, terpenuhi atau tidaknya syarat kesepakatan ini
semata-mata ditentukan oleh para pihak atau subjek perjanjian. Dengan demikian,
syarat kesepakatan ini disebut juga dengan syarat subjektif.
Kecakapan
Pada prinsipnya,
setiap orang dianggap cakap atau mampu untuk membuat perjanjian, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang. Prinsip ini bersumber dari Pasal 1329
KUHPerdata yang berbunyi “Setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.”
Golongan orang
yang oleh undang-undang dinyatakan dianggap tidak cakap untuk membuat
perjanjian adalah
1. Orang
yang belum dewasa atau anak di bawah umur (minderjarig);
2. Orang
yang ditempatkan di bawah pengampunan (curatele).
Golongan orang
yang disebutkan di atas tidak dapat membuat perjanjian secara mandiri, kecuali jika melalui perwakilan,
yaitu orang tua atau wali atau orang dewasa lain yang berhak mewakilinya.
Dalam hukum
nasional Indonesia, usia dewasa adalah minimal berumur 18 tahun atau belum
berumur 18 tahun, tetapi telah menikah. Ketentuan ini ditetapkan dalam Pasal 47
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lebih lanjut, ketentuan ini
dipertegas dalam Pasal 39 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris yang menyatakan bahwa penghadap (untuk membuat akta perjanjian) harus
berusia minimal 18 tahun atau telah menikah.Terpenuhi atau tidaknya syarat
kecakapan ini semata-mata ditentukan oleh para pihak atau subjek perjanjian.
Dengan demikian syarat kesepakatan ini disebut juga dengan syarat subjektif.
Hal
Tertentu
Yang dimaksud
dengan hal tertentu dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah apa yang menjadi
kewajiban dari debitur dan apa yang menjadi hak dari kreditur atau sebaliknya.
Hal tertentu sebagai objek perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak
dan kewajiban yang timbul dari perjanjian (O.Asser-Rutten dalam Budiono,
2009:107). Suatu kewajiban dalam perjanjian dinamakan prestasi bagi debitur,
sedangkan bagi kreditur hal tersebut merupakan hak.
Tuntunan dari
undang-undang adalah objek perjanjian haruslah tertentu. Setidaknya objek
perjanjian dapat ditentukan tentang hak dan kewajibannya, isi pokok perjanjian
yang menyangkut harga dan barangnya. Tujuan dari suatu perjanjian adalah untuk
terbentuknya, berubahnya, atau berakhirnya suatu perikatan. Perjanjian tersebut
mewajibkan kepada para pihak untuk memberikan sesuatu , berbuat sesuatu, atau
tidak berbuat sesuatu (prestasi). Oleh karena itu, kewajiban tersebut haruslah
dapat ditentukan. Hal ini sekaligus dapat berarti adanya objek perjanjian yang
dapat ditentukan.
Terpenuhi atau
tidaknya syarat hal tertentu, semata-mata ditentukan oleh isi atau objek
perjanjian. Dengan demikian, syarat kesepakatan ini disebut juga dengan syarat
objektif.
Sebab
yang Halal
Sebab yang
dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak
mengadakan perjanjian, yaitu mempunyai dasar yang sah dan patut atau pantas.
Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan.Terpenuhi atau tidaknya syarat sebab yang halal, semata-mata
ditentukan oleh isi atau objek perjanjian. Dengan demikian, syarat kesepakatan
ini disebut juga dengan syarat objektif.
Akibat
Hukum Syarat Tidak Terpenuhi
Kesepakatan yang
merupakan salah satu syarat subjektif dianggap tidak ada apabila perjanjian
tersebut mengandung unsur paksaan, penipuan, atau kekeliruan. Apabila
perjanjian yang dibuat mengandung salah satu unsur serta apabila yang membuat
belum dewasa maka akibat hukum terhadap perjanjian tersebut adalah perjanjian
dapat dimintai pembatalan. Dengan kata lain, perjanjian dapat dibatalkan dan
menjadi tidak berlaku sejak saat dibatalkan. Lebih lanjut, apabila salah satu
pihak menghendaki agar dibatalkan maka perjanjian itu tidak mengikat lagi.
Namun, jika salah satu tidak meminta perjanjian tersebut dibatalkan maka
perjanjian tersebut dianggap sah dan tetap dilaksanakan.
Sementara itu,
apabila perjanjian tidak memuat syarat objektif karena tidak adanya objek
perjanjian yang jelas atau perjanjian tersebut tidak dibenarkan oleh hukum,
kesusilaan, dan ketertiban umum maka akibatnya perjanjian tersebut batal demi
hukum. Dengan kata lain, sejak perjanjian tersebut lahir, perjanjian tersebut
dianggap tidak pernah ada. Hal ini karena tidak ada pihak yang berhak menuntut
suatu prestasi dari pihak lainnya.
2.4 Perjanjian Menurut Isinya
Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian mengemukakan bahwa dari
segi isinya, perjanjian dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.
Perjanjian
untuk memberikan atau menyerahkan sebuah barang;
2.
Perjanjian
untuk berbuat sesuatu;
3.
Perjanjian
untuk tidak berbuat sesuatu.
Sesuatu
yang harus dilaksanakan dalam sebuah perjanjian disebut prestasi. Apabila isi
perjanjian dilaksanakan oleh para pihak maka tujuan perjanjian dapat tercapai.
Namun, tidak selamanya perjanjian terlaksana seperti yang diinginkan oleh para
pihak. Adakalanya ada pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya atau cedera
janji, dalam hukum perjanjian disebut dengan wanprestasi.
Macam-Macam
Perjanjian
1. Perjanjian
Kredit
Kredit atau credere (dalam bahasa Romawi) artinya percaya, kepercayaan
ini merupakan dasar dari setiap perjanjian. Adapaun unsur dari kredit adalah
adanya du pihak, kesepakatan pinjam-meminjam (lihat KUH Perdata tentang
Perjanjian Pinjam-Meminjam), kepercayaan, prestasi, imbalan, dan jangka waktu
tertentu dengan objeknya benda.
Adapun dasar dari
perjanjian kredit adalah UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 tentang Perjanjian
Kredit diatur dalam Pasal 1 ayat 11, yang berbunyi:
Kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang bisa dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam anata bank (kreditur) dengan pihak lain (debitur)
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
Kelompok
perjanjian kredit dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
·
Perjanjian kredit uang
(contoh: perjanjian kartu kredit)
·
Perjanjian kredit barang
(contoh perjanjian sewa beli, perjanjian sewa guna usaha)
Perjanjian Kredit Uang
Menurut Pasal 16 UU Perbankan No 17 Tahun
1998, setiap pihak yang melakukan aktivitas menghimpun dana dari masyarakat
wajib memiliki izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat.
Meskipun suku bunga menurut UU tidak boleh lebih 6% (S. 1848 No. 22), tetapi
dalam praktik bisnis kesepakatan antara kreditur dan debitur biasanya boleh
lebih dari yang ditentukan, yang penting bunga itu ada.
Menurut UU Perbankan Pasal 11 ayat 2, batas
maksimum pemberian kredit tidak boleh melebihi 30% dari modal bank yang sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Biasanya kredit yang
diberikan mengandung resiko sehingga dalam memberikan kredit bank harus
memerhatikan dasar perkreditan yang sehat agar debitur bias mengembalikan
segala pinjamannya dengan teratur dan lancar. Dalam perjanjian kredit perlu
diatur jangka waktunya mengingat kredit merupakan kontrak yang suatu waktu
harus dikembalikan.
Perjanjian Leasing (Kredit Barang)
Leasing berasal dari kata
lease (dalam bahasa Inggris) adalah perjanjian yang pembayarannya dilakukan
secara angsuran dan hak milik atas barang itu beralih kepada pembeli setelah
angsurannya lunas dibayar (Keputusan Menteri Perdagangan No. 34/KP/II/1980).
Adapun ciri-ciri pokok leasing, yaitu :
·
Hak milik atas barang
baru beralih setelah lunas pembayaran, berarti selama kurun waktu perjanjian
berjalan hak milik masih menjadi hak lessor, hal ini berbeda dengan perjanjian
pembiayaan untuk jual beli barang.
·
Sewaktu-waktu lessor bisa
membatalkan perjanjian bila lesse lalai.
·
Leasing
bukan perjanjian kredit murni, namun cenderung perjanjian kredit dengan jaminan
terselubung.
·
Ada registrasi kredit
dengan tujuan untuk melahirkan sifat kebendaan dari perjanjian jaminan.
2. Perjanjian
Keagenan dan Distributor
Agen
atau agent (dalam bahasa Inggris)
adalah perusahaan nasional yang menjalankan keagenan, sedangkan keagenan adalah
hubungan hukum antara pemegang merek (principal)
dan suatu perusahaan dalam penunjukkan untuk melakukan
perakitan/pembuatan/manufaktur serta pernjualan/distribusi barang modal atau
produk industry tertentu.
Jasa
keagenan adalah usaha jasa perantara untuk melakukan suatu transaksi bisnis
tertentu yang menghubungkan produsen di satu pihak dan konsumen di lain pihak.
Nathan
Weinstock (1987), seperti di kutip Levi Lana (dalam Jurnal Hukum Bisnis, 2001),
membedakan secara tegas antara agen dengan distribusi.
a. Distributor
membeli dan menjual barang untuk diri sendiri dan atas tanggung jawab sendiri
termasuk memikul semua risiko, sedangkan agen melakukan tindakan hukum atas
perintah dan tanggung jawabprincipal dan resiko ditanggung principal.
b. Distributor
mendapat keuntungan atas margin harga beli dengan harga jual, sementara agen
mendapat komisi.
c. Distributor
bertanggung jawab sendiri atas semua biaya yang dikeluarkan, sedangkan agen
meminta pembayaran kembali atas biaya yang dikeluarkannya.
d. Sistem
manajemen dan akuntansi dari distributor bersifat otonom, sedangkan keagenan
berhak menagih secara langsung kepada nasabah.
3. Perjanjian
Franchising dan Lisensi
Franchising
merupakan salah satu bentuk lain dari praktik bisnis, yang paling umum biasanya
dibidang restoran cepat saji, hotel, copy center, kantor broker untuk real
taste, salon, maupun jenis jasa konsultan lainnya. Franchise adalah pemilik
dari sebuah merek dagang, nama dagang, sebuah rahasia dagang, paten, atau
produk (biasanya disebut “franchisor”) yang memberikan lisensi ke pihak lain
(biasanya disebut franchisee) untuk menjual atau memberi pelayanan dari produk
di bawah nama franchisor. Franchisee biasanya membayar semacam fee (royalty)
kepada franchisor terhadap aktivitas yang mereka lakukan. Franchisee dan
franchisor merupakan dua pihak yang terpisah satu dengan yang lainnya.
Resiko,
Wanprestasi, Dan Keadaa Memaksa
1. Risiko
Menurut
Soebakti (2001), risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu
kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan
dalam perjanjian. Disini berarti beban untuk memikul tanggung jawab dari risiko
itu hanyalah kepada salah satu pihak saja.
2. Wanprestasi
Menurut
Pasal 1234 KUHPerdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang
menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya
dianggap wanprestasi bila seseorang:
a. Tidak
melakukan apa yang disanggupi yang akan dilakukannya.
b. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
d. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat
dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi,
pembatalan perjanjian, peralihan risiko, maupun membayar biaya perkara. Sebagai
contoh seprang debitur dituduh melakukan perbuatan melawan hukum, lalai atau
secara sengaja tidak melaksanakan sesuai bunyi yang telah disepakati dalam
perjanjian, jika terbukti, maka debitur harus mengganti kerugian (termasuk
ganti rugi + bunga + biaya perkaranya). Meskipun demikian, debitur bisa saja
membela dengan alasa:
·
Keadaan memaksa (overmacht/force majeure).
·
Kelalaian kreditur
sendiri.
·
Kreditur telah melepaskan
haknya untuk menuntut ganti rugi.
Untuk
hal yang demikian debitur tidak harus mengganti kerugian. Oleh karena itu,
sebaiknya dalam setiap kontrak bisnis yang kita buat dapat dicantumkan juga mengenai
resiko, wanprestasi, dan keadaan memaksa.
3. Keadaan
Memaksa
Menurut
Soebakti (2001), untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” bila keadaan
itu:
·
Di luar kekuasaannya.
·
Memaksa
·
Tidak dapat diketahui
sebelumnya.
Keadaan
memaksa ada yang bersifat absolute, contohnya, bencana alam seperti banjir,
gempa bumi, tanah longsor, dan lain-lain. Adapun yang bersifat tidak mutlak,
contohnya berupa suatu keadaan dimana perjanjian masih dapat dilaksanakan,
tetapi dengan biaya yang lebih tinggi, misalnya terjadi perubahan harga yang
tinggi secara mendadak akibat dari regulasi peemerintah terhadap produk
tertentu; krisis ekonomi yang mengakibatkan ekspor produk terhenti sementara;
dan lain-lain.
2.5 Hapusnya Perjanjian
KUHPerdata melalui Pasal 1381 telah
menetapkan beberapa sebab yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian sebagai
berikut.
1.
Pembayaran
Pembayaran adalah pelunasan utang atau
tindakan pemenuhanprestasi oleh debitur kepada kreditur. Pada dasarnya,
pembayaran dilakukan di tempat yang telah dijanjikan, namun apabila di dalam
perjanjian itu tidak ditentukan tempat pembayaran maka hal itu diatur dalam
KUHPPerdata.
Berkaitan dengan hal pembayaran, dikenal
dengan sebuah istilah yang disebut subrogasi,
yaitu penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga. Penggantian ini terjadi
dengan pembayaran yang dijanjikan ataupun ditetapkan oleh undang-undang.
2. Penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsinyasi)
Konsinyasi adalah sebuah cara untuk
menghapus perikatan. Hal ini karena pada
saat debitur hendak membayar utangnya, pembayarannya ditolak oleh kreditur
sehingga debitur dapat menitipkan pembayaran melalui kepaniteraan Pengadilan
Negeri setempat.
3.
Novasi
(pembaruan utang)
Novasi adalah perjanjian antara debitur
dengan kreditur saat perikatan yang sudah ada dihapuskan lalu dibuat sebuah
perikatan yang baru.
4.
Perjumpaan
utang (kompensasi)
Kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang yang sudah dapat ditagih secara timbal balik antara debitur
dan kreditur.
5.
Percampuran
utang
Percampuran utang adalah percampuran
kedudukan antara orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur sehingga
menjadi satu.
6.
Pembebasan
utang
Adalah pernyataan sepihak dari kreditur
kepada debitur bahwa debitur dihapuskan dari utang.
7.
Musnahnya
barang yang terutang
Musnahnya barang yang terutang diartikan
sebagai perikatan hapus dengan musnahnyaatau hilangnya barang tertentu yang
menjadi pokok prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk menyerahkannya
kepada kreditur. Hilang atau musnahnya barang tersebut bukan karena kesalahan
atau kelalaian debitur.
8. Batal
atau pembatalan
Pembatalan diartikan sebagai pembatalan
perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan sebagaimana yang sudah diuraikan
sebelumnya pada syarat-syarat sahnya perjanjian.
9. Berlakunya
suatu syarat batal
Berlakunya suatu syarat batal diartikan
sebagai syarat yang apabila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa
segala sesuatu pada keadaan semula, yaitu seolah-olah tidak ada sebuah
perjanjian.
10. Lewat waktu atau kedaluwarsa
Kedaluwarsa adalah suatu alat untuk
memperoleh ha katas sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan
lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang.
Dengan lewatnya waktu tersebut, setiap perikatan
menjadi hapus karenanya. Yang tersisa adalah suatu perikatan bebas. Artinya
adalah kalau dibayar boleh, tetapi kalau tidak dibayar tidak dapat dituntut di
depan hakim.
Menurut Subekti dalam Raharjo (2009:
100), sepuluh cara diatas belum lengkap karena masih ada cara-cara yang belum disebutkan,
misalnya berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam perjanjian atau meninggalnya
salah satu pihak dalam perjanjian, padahal prestasi hanya dapat dilaksanakan
oleh orang yang meninggal dunia tersebut.
Tips membuat perjanjian
Study Kasus
Salah satu cara
untuk memenuhi kebutuhan manusia adalah dengan meminjam uang pada orang lain
atau instansi tertentu yaitu seperti bank, yang biasanya di kenal dengan
perjanjian kredit yang biasanya dalam perjanjian kredit diharuskan adanya suatu
jaminan untuk berjaga-jaga apabila debitur wanprestasi atau tidak dapat
memenuhi kewajibannya pada pihak bank. Adapun metode penelitian yang digunakan
dalam penulisan ini adalah penelitian kepustakaan (Library research) dan
penelitian dilapangan (Field research) pada BPR Bumiasih NBP 20. Permasalahan
yang dikemukakan adalah bagaimana tinjauan hukum mengenai penyelesaian
wanprestasi yang timbul pada perjanjian kredit bank, juga termasuk prosedur
pemberian kredit, konsekuensi jaminan terhadap akibat adanya wanprestasi dan
bagaimana cara penyelesaian yang dilakukan pihak bank pada debitur yang
melakukan wanprestasi. Berdasarkan hal tersebut wanprestasi yang timbul pada
perjanjian kredit bank disebabkan oleh debitur tidak memenuhi pembayaran pada
kreditur, pada umumnya upaya yang dilakukan pihak bank dalam menyelesaikan
wanprestasi adalah melalui pendekatan pada nasabah apabila hal ini tidak
berhasil maka tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh kreditur adalah melalui
eksekusi jaminan.
Kesimpulan
Suatu perjanjian lahir pada detik
tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai
hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Apa yang dikehendaki
oleh pihak yang satu , adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain,
meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik kedua kehendak itu bertemu
satu sama lain. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian
dianggap telah tercapai , apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak
diterima oleh pihak lain sebagai kesimpulan dapat ditetapkan.
Asas-asas
hukum merupakan dasar atau pokok karena bersifat fundamental. Asas-asa hukum
yaitu: asas kebebasan berkontrak (contracts
vrijheid), asas
konsensualisme, asas
pacta sunt servanda, asas
kepribadian (personalitas), dan
asas iktikad baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Silondae, Arus Akbar dan Ilyas, Wirawan B. 2011. Pokok-Pokok Hukum Bisnis.
Jakarta: Salemba Empat.
Jakarta: Salemba Empat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar