Cari Blog Ini

Minggu, 22 Oktober 2017

Hukum Perjanjian

Tujuan Pembelajaran :
     (1)      Memaparkan hubungan hukum perjanjian dan perikatan.
     (2)      Memaparkan asas-asas hukum perjanjian.
     (3)      Memaparkan syarat sahnya perjanjian. 
     (4)      Memaparkan jenis-jenis hukum perjanjian.

     (5)      Memaparkan berakhir atau terhapusnya hukum perjanjian.
Gambar terkait

PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Perjanjian dan Perikatan
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan hubungan tersebut pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut (Subekti, 1985:1). Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur atau pihak berpiutang. Sementara, pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan disebut debitur atau pihak yang berutang. Hubungan antara dua pihak tersebut merupakan hubungan hukum yang berarti bahwa hak kreditur atau berpiutang dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi secara sukarela, kreditur dapat menuntutnya di depan hakim.
 Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) berbunyi “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Lebih lanjut, perjanjian menurut Subekti (1985:1) adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain atau ketika dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber-sumber lainnya. Selain itu, dapat diketahui bahwa perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.

2.2 Asas-Asas Hukum Perjanjian
Asas-asas hukum merupakan dasar atau pokok karena bersifat fundamental. Asas-asas yang dikenal di dalam hukum perjanjian klasik sebagai berikut.

Hasil gambar untuk asas hukum perjanjian bisnis
1.      Asas kebebasan berkontrak (contracts vrijheid)
Asas ini memperbolehkan setiap masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi apapun asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang. Bahkan diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dalam buku III KUHPerdata.
      Budiono (2009:44) menguraikan asas kebebasan berkontrak yang isinya memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1)      membuat atau tidak membuat perjanjian;
2)      mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3)      menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4)      menentukan bentuk perjanjian, yaitu secara tertulis atau lisan.
Keempat hal tersebut boleh dilakukan, namun tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
2.      Asas Konsensualisme
Perjanjian berdasarkan asas konsensualisme menyatakan perjanjian sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan oleh undang-undang diharuskan adanya formalitas-formalitas tertentu. Misalnya, perjanjian penghibahan benda tidak bergerak (tanah) yang harus dilakukan dengan akta notaris. Jadi, perjanjian tersebut harus dalam bentuk tertulis.
3.      Asas Pacta Sunt Servanda
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini melandasi pernyataan bahwa sebuah perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum sehingga pra pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban tersebut.perjanjian dibuat sendiri oleh para pihak dan mereka juga yang menentukan isinya serta cara pelaksanaannya. Perjanjian yang dibuat secara sah tersebut memunculkan akibat hukum yang sama dengan undang-undang bagi para pihak. Jadi, apabila salah satu pihak tidak atau lalai melaksanakan kewajibannya menurut perjanjian maka pihak lainnya yang dirugikan atau dilanggar haknya akan mendapat perlindungan secara hukum dari negara yang bersangkutan melalui pengadilan.
4.      Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadiaan disimpulkan dari Pasal 1315 KUHPerdata yang berbunyi “Pada umumnya tiada seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.” Perikatan hukum yang dihasilkan oleh suatu perjanjian hanya mengikat orang-orang yang membuat perjanjian dan tidak mengikat orang lain atau orang ketiga yang tidak mempunyai sangkut paut dengan perjanjian tersebut (Subekti, 1985:30). Seseorang tidak diperbolehkan membuat perjanjian yang meletakkan kewajiban bagi pihak ketiga atau orang lain tanpa adanya kuasa dari pihak ketiga tersebut. Dalam asas kepribadian, berlaku dua pengecualian sebagai berikut.
   (1)      Janji untuk pihak ketiga
Pada janji ini, seseorang membuat suatu perjanjian yang isinya menjanjikan hak-hak bagi pihak ketiga/ orang lain.
   (2)      Perjanjian Garansi
Seseorang membuat perjanjian dengan orang lain, sebut saja A dan B. Dalam perjanjian, A menjanjikan bahwa orang lain (C) akan berbuat sesuatu dan A menjamin bahwa C pasti akan melaksanakan. Akan tetapi, jika C tidak melaksanakan sesuatu hal yang disebutkan dalam perjanjian maka A bertanggung jawab untuk melakukan kewajiban C tersebut. Perjanjian ini lazim dipraktikkan dalam perbankan.
5.      Asas Iktikad Baik
Silondae dan Fariana (2010:12) mengemukakan bahwa semua perjanjian yang dibuat harus dilandasi dengan iktikad baik (in good faith). Pengertian iktikad baik mempunyai dua arti, yaitu: 
    (1)      perjanjian yang dibuat harus memperhatikan norma-norma kepatutan dan kesusilaan;
  (2)   perjanjian yang dibuat harus mencerminkan suasana batin yang tidak menunjukkan adanya kesengajaan untuk merugikan pihak lain.

2.3 Syarat Sahnya Perjanjian
Kitab Undang-Undang Perdata di dalam Pasal 1320 telah menetapkan syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan diri (kata sepakat);
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (kecakapan);
3.      Hal tertentu;
4.      Sebab yang halal;
5.      Akibat hukum syarat tidak terpenuhi.

Kata Sepakat
KUHPerdata tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan sepakat. Untuk memperoleh penjelasan mengenai hal tersebut, Subekti (1985:17) menguraikan bahwa kedua pihak yang mengadakan perjanjian harus sepakat, setuju, atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang dibuat. Apa yang dikehendaki dari pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik, misalnya penjual mengiginkan sejumlah uang dan pembeli menginginkan sejumlah barang dari penjual. Untuk mewujudkan suatu kesepakatan, tidak cukup bahwa keinginan atau keputusan sudah diambil oleh para pihak. Kehendak dan keputusan harus disampaikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain secara timbal balik.
Pernyataan kehendak oleh salah satu pihak adalah penawaran (offer) yang disampaikan kepada mitranya. Sebaliknya, pernyataan kehendak oleh mitranya yang menerima penawaran tersebut merupakan penerimaan (acceptance). Pernyataan dan penerimaan pada prinsipnya tidak digantungkan pada bentuk tertentu. Lebih lanjut, pernyataan kehendak dapat dberikan secara tegas.
Pasal 1321 KUHPerdata memberikan penegasan bahwa sebuah perjanjian tidak memenuhi syarat kesepakatan apabila kesepakatan tersebut diberikan karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Lebih lanjut, terpenuhi atau tidaknya syarat kesepakatan ini semata-mata ditentukan oleh para pihak atau subjek perjanjian. Dengan demikian, syarat kesepakatan ini disebut juga dengan syarat subjektif.

Kecakapan
Pada prinsipnya, setiap orang dianggap cakap atau mampu untuk membuat perjanjian, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Prinsip ini bersumber dari Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.”
Golongan orang yang oleh undang-undang dinyatakan dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah
1.      Orang yang belum dewasa atau anak di bawah umur (minderjarig);
2.      Orang yang ditempatkan di bawah pengampunan (curatele).
Golongan orang yang disebutkan di atas tidak dapat membuat perjanjian secara     mandiri, kecuali jika melalui perwakilan, yaitu orang tua atau wali atau orang dewasa lain yang berhak mewakilinya.
Dalam hukum nasional Indonesia, usia dewasa adalah minimal berumur 18 tahun atau belum berumur 18 tahun, tetapi telah menikah. Ketentuan ini ditetapkan dalam Pasal 47 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lebih lanjut, ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 39 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa penghadap (untuk membuat akta perjanjian) harus berusia minimal 18 tahun atau telah menikah.Terpenuhi atau tidaknya syarat kecakapan ini semata-mata ditentukan oleh para pihak atau subjek perjanjian. Dengan demikian syarat kesepakatan ini disebut juga dengan syarat subjektif.

Hal Tertentu
Yang dimaksud dengan hal tertentu dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitur dan apa yang menjadi hak dari kreditur atau sebaliknya. Hal tertentu sebagai objek perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian (O.Asser-Rutten dalam Budiono, 2009:107). Suatu kewajiban dalam perjanjian dinamakan prestasi bagi debitur, sedangkan bagi kreditur hal tersebut merupakan hak.
Tuntunan dari undang-undang adalah objek perjanjian haruslah tertentu. Setidaknya objek perjanjian dapat ditentukan tentang hak dan kewajibannya, isi pokok perjanjian yang menyangkut harga dan barangnya. Tujuan dari suatu perjanjian adalah untuk terbentuknya, berubahnya, atau berakhirnya suatu perikatan. Perjanjian tersebut mewajibkan kepada para pihak untuk memberikan sesuatu , berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (prestasi). Oleh karena itu, kewajiban tersebut haruslah dapat ditentukan. Hal ini sekaligus dapat berarti adanya objek perjanjian yang dapat ditentukan.
Terpenuhi atau tidaknya syarat hal tertentu, semata-mata ditentukan oleh isi atau objek perjanjian. Dengan demikian, syarat kesepakatan ini disebut juga dengan syarat objektif.

Sebab yang Halal
Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian, yaitu mempunyai dasar yang sah dan patut atau pantas. Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.Terpenuhi atau tidaknya syarat sebab yang halal, semata-mata ditentukan oleh isi atau objek perjanjian. Dengan demikian, syarat kesepakatan ini disebut juga dengan syarat objektif.

Akibat Hukum Syarat Tidak Terpenuhi
Kesepakatan yang merupakan salah satu syarat subjektif dianggap tidak ada apabila perjanjian tersebut mengandung unsur paksaan, penipuan, atau kekeliruan. Apabila perjanjian yang dibuat mengandung salah satu unsur serta apabila yang membuat belum dewasa maka akibat hukum terhadap perjanjian tersebut adalah perjanjian dapat dimintai pembatalan. Dengan kata lain, perjanjian dapat dibatalkan dan menjadi tidak berlaku sejak saat dibatalkan. Lebih lanjut, apabila salah satu pihak menghendaki agar dibatalkan maka perjanjian itu tidak mengikat lagi. Namun, jika salah satu tidak meminta perjanjian tersebut dibatalkan maka perjanjian tersebut dianggap sah dan tetap dilaksanakan.
Sementara itu, apabila perjanjian tidak memuat syarat objektif karena tidak adanya objek perjanjian yang jelas atau perjanjian tersebut tidak dibenarkan oleh hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum maka akibatnya perjanjian tersebut batal demi hukum. Dengan kata lain, sejak perjanjian tersebut lahir, perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Hal ini karena tidak ada pihak yang berhak menuntut suatu prestasi dari pihak lainnya.

2.4 Perjanjian Menurut Isinya
            Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian mengemukakan bahwa dari segi isinya, perjanjian dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.      Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sebuah barang;
2.      Perjanjian untuk berbuat sesuatu;
3.      Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Sesuatu yang harus dilaksanakan dalam sebuah perjanjian disebut prestasi. Apabila isi perjanjian dilaksanakan oleh para pihak maka tujuan perjanjian dapat tercapai. Namun, tidak selamanya perjanjian terlaksana seperti yang diinginkan oleh para pihak. Adakalanya ada pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya atau cedera janji, dalam hukum perjanjian disebut dengan wanprestasi.

Macam-Macam Perjanjian
1.      Perjanjian Kredit
Kredit atau credere (dalam  bahasa Romawi) artinya percaya, kepercayaan ini merupakan dasar dari setiap perjanjian. Adapaun unsur dari kredit adalah adanya du pihak, kesepakatan pinjam-meminjam (lihat KUH Perdata tentang Perjanjian Pinjam-Meminjam), kepercayaan, prestasi, imbalan, dan jangka waktu tertentu dengan objeknya benda.
Adapun dasar dari perjanjian kredit adalah UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 tentang Perjanjian Kredit diatur dalam Pasal 1 ayat 11, yang berbunyi:
        Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang bisa dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam anata bank (kreditur) dengan pihak lain (debitur) yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Kelompok perjanjian kredit dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
·            Perjanjian kredit uang (contoh: perjanjian kartu kredit)
·            Perjanjian kredit barang (contoh perjanjian sewa beli, perjanjian sewa guna usaha)
Perjanjian Kredit Uang
      Menurut Pasal 16 UU Perbankan No 17 Tahun 1998, setiap pihak yang melakukan aktivitas menghimpun dana dari masyarakat wajib memiliki izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat. Meskipun suku bunga menurut UU tidak boleh lebih 6% (S. 1848 No. 22), tetapi dalam praktik bisnis kesepakatan antara kreditur dan debitur biasanya boleh lebih dari yang ditentukan, yang penting bunga itu ada.
      Menurut UU Perbankan Pasal 11 ayat 2, batas maksimum pemberian kredit tidak boleh melebihi 30% dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Biasanya kredit yang diberikan mengandung resiko sehingga dalam memberikan kredit bank harus memerhatikan dasar perkreditan yang sehat agar debitur bias mengembalikan segala pinjamannya dengan teratur dan lancar. Dalam perjanjian kredit perlu diatur jangka waktunya mengingat kredit merupakan kontrak yang suatu waktu harus dikembalikan.
Perjanjian Leasing (Kredit Barang)
Leasing berasal dari kata lease (dalam bahasa Inggris) adalah perjanjian yang pembayarannya dilakukan secara angsuran dan hak milik atas barang itu beralih kepada pembeli setelah angsurannya lunas dibayar (Keputusan Menteri Perdagangan No. 34/KP/II/1980). Adapun ciri-ciri pokok leasing, yaitu :
·         Hak milik atas barang baru beralih setelah lunas pembayaran, berarti selama kurun waktu perjanjian berjalan hak milik masih menjadi hak lessor, hal ini berbeda dengan perjanjian pembiayaan untuk jual beli barang.
·         Sewaktu-waktu lessor bisa membatalkan perjanjian bila lesse lalai.
·         Leasing bukan perjanjian kredit murni, namun cenderung perjanjian kredit dengan jaminan terselubung.
·         Ada registrasi kredit dengan tujuan untuk melahirkan sifat kebendaan dari perjanjian jaminan.
2.      Perjanjian Keagenan dan Distributor
Agen atau agent (dalam bahasa Inggris) adalah perusahaan nasional yang menjalankan keagenan, sedangkan keagenan adalah hubungan hukum antara pemegang merek (principal) dan suatu perusahaan dalam penunjukkan untuk melakukan perakitan/pembuatan/manufaktur serta pernjualan/distribusi barang modal atau produk industry tertentu.
Jasa keagenan adalah usaha jasa perantara untuk melakukan suatu transaksi bisnis tertentu yang menghubungkan produsen di satu pihak dan konsumen di lain pihak.
Nathan Weinstock (1987), seperti di kutip Levi Lana (dalam Jurnal Hukum Bisnis, 2001), membedakan secara tegas antara agen dengan distribusi.
a.       Distributor membeli dan menjual barang untuk diri sendiri dan atas tanggung jawab sendiri termasuk memikul semua risiko, sedangkan agen melakukan tindakan hukum atas perintah dan tanggung jawabprincipal dan resiko ditanggung principal.
b.      Distributor mendapat keuntungan atas margin harga beli dengan harga jual, sementara agen mendapat komisi.
c.       Distributor bertanggung jawab sendiri atas semua biaya yang dikeluarkan, sedangkan agen meminta pembayaran kembali atas biaya yang dikeluarkannya.
d.      Sistem manajemen dan akuntansi dari distributor bersifat otonom, sedangkan keagenan berhak menagih secara langsung kepada nasabah.
3.      Perjanjian Franchising dan Lisensi
Franchising merupakan salah satu bentuk lain dari praktik bisnis, yang paling umum biasanya dibidang restoran cepat saji, hotel, copy center, kantor broker untuk real taste, salon, maupun jenis jasa konsultan lainnya. Franchise adalah pemilik dari sebuah merek dagang, nama dagang, sebuah rahasia dagang, paten, atau produk (biasanya disebut “franchisor”) yang memberikan lisensi ke pihak lain (biasanya disebut franchisee) untuk menjual atau memberi pelayanan dari produk di bawah nama franchisor. Franchisee biasanya membayar semacam fee (royalty) kepada franchisor terhadap aktivitas yang mereka lakukan. Franchisee dan franchisor merupakan dua pihak yang terpisah satu dengan yang lainnya.

Resiko, Wanprestasi, Dan Keadaa Memaksa
1.      Risiko
Menurut Soebakti (2001), risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Disini berarti beban untuk memikul tanggung jawab dari risiko itu hanyalah kepada salah satu pihak saja.
2.      Wanprestasi
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya dianggap wanprestasi bila seseorang:
    a.       Tidak melakukan apa yang disanggupi yang akan dilakukannya.
    b.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
    c.       Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
    d.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan perjanjian, peralihan risiko, maupun membayar biaya perkara. Sebagai contoh seprang debitur dituduh melakukan perbuatan melawan hukum, lalai atau secara sengaja tidak melaksanakan sesuai bunyi yang telah disepakati dalam perjanjian, jika terbukti, maka debitur harus mengganti kerugian (termasuk ganti rugi + bunga + biaya perkaranya). Meskipun demikian, debitur bisa saja membela dengan alasa:
·         Keadaan memaksa (overmacht/force majeure).
·         Kelalaian kreditur sendiri.
·         Kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
Untuk hal yang demikian debitur tidak harus mengganti kerugian. Oleh karena itu, sebaiknya dalam setiap kontrak bisnis yang kita buat dapat dicantumkan juga mengenai resiko, wanprestasi, dan keadaan memaksa.
3.      Keadaan Memaksa
Menurut Soebakti (2001), untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” bila keadaan itu:
·         Di luar kekuasaannya.
·         Memaksa
·         Tidak dapat diketahui sebelumnya.
Keadaan memaksa ada yang bersifat absolute, contohnya, bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor, dan lain-lain. Adapun yang bersifat tidak mutlak, contohnya berupa suatu keadaan dimana perjanjian masih dapat dilaksanakan, tetapi dengan biaya yang lebih tinggi, misalnya terjadi perubahan harga yang tinggi secara mendadak akibat dari regulasi peemerintah terhadap produk tertentu; krisis ekonomi yang mengakibatkan ekspor produk terhenti sementara; dan lain-lain.

2.5 Hapusnya Perjanjian

            KUHPerdata melalui Pasal 1381 telah menetapkan beberapa sebab yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian sebagai berikut.
    1.      Pembayaran
Pembayaran adalah pelunasan utang atau tindakan pemenuhanprestasi oleh debitur kepada kreditur. Pada dasarnya, pembayaran dilakukan di tempat yang telah dijanjikan, namun apabila di dalam perjanjian itu tidak ditentukan tempat pembayaran maka hal itu diatur dalam KUHPPerdata.
Berkaitan dengan hal pembayaran, dikenal dengan sebuah istilah yang disebut subrogasi, yaitu penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga. Penggantian ini terjadi dengan pembayaran yang dijanjikan ataupun ditetapkan oleh undang-undang.
    2.    Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsinyasi)
Konsinyasi adalah sebuah cara untuk menghapus perikatan. Hal ini karena  pada saat debitur hendak membayar utangnya, pembayarannya ditolak oleh kreditur sehingga debitur dapat menitipkan pembayaran melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
    3.      Novasi (pembaruan utang)
Novasi adalah perjanjian antara debitur dengan kreditur saat perikatan yang sudah ada dihapuskan lalu dibuat sebuah perikatan yang baru.
    4.      Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang yang sudah dapat ditagih secara timbal balik antara debitur dan kreditur.
    5.      Percampuran utang
Percampuran utang adalah percampuran kedudukan antara orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur sehingga menjadi satu.   
    6.      Pembebasan utang
Adalah pernyataan sepihak dari kreditur kepada debitur bahwa debitur dihapuskan dari utang.
    7.      Musnahnya barang yang terutang
Musnahnya barang yang terutang diartikan sebagai perikatan hapus dengan musnahnyaatau hilangnya barang tertentu yang menjadi pokok prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk menyerahkannya kepada kreditur. Hilang atau musnahnya barang tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaian debitur.
     8.   Batal atau pembatalan
Pembatalan diartikan sebagai pembatalan perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan sebagaimana yang sudah diuraikan sebelumnya pada syarat-syarat sahnya perjanjian.
     9.    Berlakunya suatu syarat batal
Berlakunya suatu syarat batal diartikan sebagai syarat yang apabila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, yaitu seolah-olah tidak ada sebuah perjanjian.
    10.  Lewat waktu atau kedaluwarsa
Kedaluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh ha katas sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dengan lewatnya waktu tersebut, setiap perikatan menjadi hapus karenanya. Yang tersisa adalah suatu perikatan bebas. Artinya adalah kalau dibayar boleh, tetapi kalau tidak dibayar tidak dapat dituntut di depan hakim.
            Menurut Subekti dalam Raharjo (2009: 100), sepuluh cara diatas belum lengkap karena masih ada cara-cara yang belum disebutkan, misalnya berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian, padahal prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang meninggal dunia tersebut.
Tips membuat perjanjian


Study Kasus
Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia adalah dengan meminjam uang pada orang lain atau instansi tertentu yaitu seperti bank, yang biasanya di kenal dengan perjanjian kredit yang biasanya dalam perjanjian kredit diharuskan adanya suatu jaminan untuk berjaga-jaga apabila debitur wanprestasi atau tidak dapat memenuhi kewajibannya pada pihak bank. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian kepustakaan (Library research) dan penelitian dilapangan (Field research) pada BPR Bumiasih NBP 20. Permasalahan yang dikemukakan adalah bagaimana tinjauan hukum mengenai penyelesaian wanprestasi yang timbul pada perjanjian kredit bank, juga termasuk prosedur pemberian kredit, konsekuensi jaminan terhadap akibat adanya wanprestasi dan bagaimana cara penyelesaian yang dilakukan pihak bank pada debitur yang melakukan wanprestasi. Berdasarkan hal tersebut wanprestasi yang timbul pada perjanjian kredit bank disebabkan oleh debitur tidak memenuhi pembayaran pada kreditur, pada umumnya upaya yang dilakukan pihak bank dalam menyelesaikan wanprestasi adalah melalui pendekatan pada nasabah apabila hal ini tidak berhasil maka tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh kreditur adalah melalui eksekusi jaminan.

Kesimpulan
            Suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu , adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian dianggap telah tercapai , apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain sebagai kesimpulan dapat ditetapkan.
            Asas-asas hukum merupakan dasar atau pokok karena bersifat fundamental. Asas-asa hukum yaitu: asas kebebasan berkontrak (contracts vrijheid), asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas kepribadian (personalitas), dan asas iktikad baik.


DAFTAR PUSTAKA

Silondae, Arus Akbar dan Ilyas, Wirawan B. 2011. Pokok-Pokok Hukum Bisnis.
       Jakarta: Salemba Empat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar