Tujuan pembelajaran
1. Untuk
mengetahui azas hukum kepailitan.
2. Untuk
mengetahui landasan hukum kepailitan.
3. Untuk
mengetahui permohonan dan penetapan pailit.
4. Untuk
mengetahui konsekwensi pailit bagi perusahaan.
1.1
Asaz Hukum Kepailitan
Lembaga
kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting, sebagai
relisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata, yakni pasal 1131 dan 1132
mengenai tanggung jawab debitor terhadap utang-utangnya.
Sementara
itu bisa dikatakan bahwa dalam peraturan perundangan yang lama yakni dalam Fv.
Kemudian dalam PERPU No. 1 Tahun 1998 maupun UUK No. 4 Tahun 1998 tidak diatur
secara eksplisit atau khusus tentang asas-asas yang berlaku dalam kepailitan,
namun pada UUK PKPU No. 37 Tahun 2004 didalam penjelasannya menyebutkan bahwa
keberadaan UU ini mendasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan, yakni :
Asas
Keseimbangan
Undang-Undang
ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas
keseimbangan. di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur. di
lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
Asas
Kelangsungan Usaha
Dalam
Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang
prospektif tetap berjalan.
AsasKeadilan
Asas ini mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran tagihannya tanpa mempedulikan kreditor lainnya.
AsasIntegrasi
Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan materiil peraturan kepailitan merupakan suatu kesatuan utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Menurut Sutan Remi Sjahdeni UU kepailitan harusnya memuat unsur-unsur berikut:
1. UU kepailitan harus dapat mendorong kegairahan usaha investasi asing, mendorong pasar modal, dan memudahkan perusahaan indonesia memperoleh kredit luar negeri.
2. UU kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor.
3.Putusan kepailitan seyogyanya berdasarkan persetujuan para kreditor.
4.Permohonan pernyataan pailit seyogyanya berdasarkan persetujuan para kreditor mayoritas.
5. Sejak dimulainya pengajuan permohonan pernyataan pailit, seyogyanya diberlakukan dalam keadaan diam.
6. Permohonan pernyataan pailit seyogyanya hanya dapat diajukan terhadap debitor yang insolven, yaitu yang tidak membayar hutangnya kepada kreditor mayoritas.
7. Permohonan pernyataan pailit harus diputuskan dalam waktu yang tidak berlarut-larut.
8. Proses kepailitan harus terbuka untuk umum.
9. Pengurusan perusahaan yang karena kesalahannya mengakibatkan perusahaan dinyatakan pailit harus bertanggungjawab secara pribadi.
Asas ini mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran tagihannya tanpa mempedulikan kreditor lainnya.
AsasIntegrasi
Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan materiil peraturan kepailitan merupakan suatu kesatuan utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Menurut Sutan Remi Sjahdeni UU kepailitan harusnya memuat unsur-unsur berikut:
1. UU kepailitan harus dapat mendorong kegairahan usaha investasi asing, mendorong pasar modal, dan memudahkan perusahaan indonesia memperoleh kredit luar negeri.
2. UU kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor.
3.Putusan kepailitan seyogyanya berdasarkan persetujuan para kreditor.
4.Permohonan pernyataan pailit seyogyanya berdasarkan persetujuan para kreditor mayoritas.
5. Sejak dimulainya pengajuan permohonan pernyataan pailit, seyogyanya diberlakukan dalam keadaan diam.
6. Permohonan pernyataan pailit seyogyanya hanya dapat diajukan terhadap debitor yang insolven, yaitu yang tidak membayar hutangnya kepada kreditor mayoritas.
7. Permohonan pernyataan pailit harus diputuskan dalam waktu yang tidak berlarut-larut.
8. Proses kepailitan harus terbuka untuk umum.
9. Pengurusan perusahaan yang karena kesalahannya mengakibatkan perusahaan dinyatakan pailit harus bertanggungjawab secara pribadi.
- UU
kepailitan seyogyanya memungkinkan upaya retruktrusisasi utang debitor
terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pernyataan pailit.
- UU
kepailitan harus mekriminalisasikan kecurangan menyangkut kepailitan
debitor.
1.2
Peraturan Perundang-Undangan Kepailitan
Dasar Hukum
Kepailitan
1. Undang-undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 31.
2. Pengaturan Perudang-undangan di luar Undang-undang Kepailitan seperti antara lain :
a. KUHPerdata, misalnya Pasal 1139, 1149, 1134 dan lain-lain.
b. KUHPidana, misalnya Pasal 396,397,398,399,400,520 dan lain-lain.
c. Undang-undang PT No.1 Tahun 1995, misalnya Pasal 79 ayat (3), Pasal 96, Pasal 85 ayat (1) dan (2), pasal 3 ayat (2) huruf b,c dan d, Pasal 90 ayat (2) dan (3), Pasal (3), Pasal 98 ayat (1), dan lain-lain.
d. Undang-undang tentang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996. e. Peraturan Perundang-undangan di bidang Pasar modal, Perbankan, Perusahaan BUMN dan lain-lain.
Peraturan kepailitan diatur dalam peraturan tersendiri yaitu dalam Fv S. 1905 No. 217. 1906-348 yang mengandung 279 pasal, terdiri dari:
1. Undang-undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 31.
2. Pengaturan Perudang-undangan di luar Undang-undang Kepailitan seperti antara lain :
a. KUHPerdata, misalnya Pasal 1139, 1149, 1134 dan lain-lain.
b. KUHPidana, misalnya Pasal 396,397,398,399,400,520 dan lain-lain.
c. Undang-undang PT No.1 Tahun 1995, misalnya Pasal 79 ayat (3), Pasal 96, Pasal 85 ayat (1) dan (2), pasal 3 ayat (2) huruf b,c dan d, Pasal 90 ayat (2) dan (3), Pasal (3), Pasal 98 ayat (1), dan lain-lain.
d. Undang-undang tentang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996. e. Peraturan Perundang-undangan di bidang Pasar modal, Perbankan, Perusahaan BUMN dan lain-lain.
Peraturan kepailitan diatur dalam peraturan tersendiri yaitu dalam Fv S. 1905 No. 217. 1906-348 yang mengandung 279 pasal, terdiri dari:
a. Bab I,
tentang kepailitan pasal 1 sampai pasal 211.
b. Bab II,
tentang penundaan penundaan pembayaran Pasal 212 sampai pasal 279.
Pada 22 April 1998, peraturan kepailitan tersebut
disempurnakan melalui PERPU No. 1 tahun 1998 dan pada tanggal 9 september 1998,
PERPU tersebut ditingkatkan menjadi UU, yakni UU No. 4 Tahun 1998. Didalam UU
kepailitan yang baru ini terdiri dari 289 pasal, yang terbagi dalam 3 bab,
yaitu:
a. Bab I,
tentang kepailitan mulai dari pasal 1-211.
b. Bab II,
penundaan kewajiban pembayaran utang, pasal 212-279.
c. Bab II,
tantang pengadilan Niaga, pasal 280-289.
Dalam perjalanan waktunya, UUK No. 4 tahun 1998 ini
pun dirasa masih belum mampu mengakomodasi semua kepentingan pihak-pihak dalam
penyelesaian msalah utang piutang. Oleh karena itu, perlu dibenahi,
disempurnakan baik dari aspek formal maupun materillnya. Maka, pada tanggal 18
November 2004 disahkan dan diundangkanlah UU No. 37 Tahun 2004 tentang
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
1.3
Permohonan Pailit dan Penetapan Pailit
Syarat-Syarat
Kepailitan
Dalam pasal 2 ayat 1Undang-undang Kepailitan No.37 Tahun 2004 ditetapkan syarat-syarat debitur dinyatakan pailit yaitu sebagai berikut :
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit oleh Keputusan pengadilan baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. Dari ketentuan dalam pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat yuridis agar suatu debitur dinyatakan pailit adalah sebagai berikut :
1. Permohonan debitur sendiri.
Dalam pasal 2 ayat 1Undang-undang Kepailitan No.37 Tahun 2004 ditetapkan syarat-syarat debitur dinyatakan pailit yaitu sebagai berikut :
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit oleh Keputusan pengadilan baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. Dari ketentuan dalam pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat yuridis agar suatu debitur dinyatakan pailit adalah sebagai berikut :
1. Permohonan debitur sendiri.
2.
Permohonan satu atau lebih kreditornya. (Menurut Pasal 8 sebelum diputuskan
pengadilan wajib memanggil debitornya).
3. Pailit
harus dengan putusan pengadilan (Pasal 2 ayat 1).
4. Pailit
bisa atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (Pasal 2 ayat 2),
pengadilan wajib memanggil debitur (Pasal 8).
5. Bila
debitornya bank, permohonan pailit hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia.
6. Bila
debitornya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh badan
pengawas pasar modal (Bapepam).
7. Dalam hal
debitornya, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau
Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan
pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Adapun menurut Pasal 50 UU No.40 Tahun 2014 menyatakan permohoan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Adapun menurut Pasal 50 UU No.40 Tahun 2014 menyatakan permohoan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam Pasal 6, permohonan pernyataan pailit dapat
diajukan kepada :
·
Ketua pengadilan, dan panitera mendaftarkan permohonan
pernyataa pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan ajukan.
·
Bila debitur dalam keadaan berheti membayar (utang
pokok maupun bunganya).
·
Bila terdaat dua atau lebih kreditur dan debitur tidak
membayar lunas sedikktnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Adapun tujuan pernyataan pailit sebenarnya adalah
untuk mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta
benda disita/dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang mengutangkannya
(kreditur). Prinsipnya kepailitan itu adalah suatu usaha bersama untuk
mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil.
Pengertian Utang Dalam Kepailitan
Pengertian utang pada dasarnya dapat diartikan secara luas maupun secara sempit.
Pengertian utang dalam arti sempit adalah suatu kewajiban yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang, sedangkan
pengertian utang dalam arti luas adalah seluruh kewajiban yang ada dalam suatu perikatan baik yang timbul karena undang-undang maupun yang timbul karena adanya perjanjian umpamanya antara lain kewajiban menyerahkan sesuatu, kewajiban untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
Namun demikian hal ini diharapkan tidak terjadi lagi karena dalam Undang-Undang Kepailitan yang baru, yaitu UUK No. 37 Tahun 2004 Pasal 1 ayat(6) telah diberikan definisi yang tegas terhadap pengertian utang, yatiu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Pihak-pihak Yang Terliat Dalam Proses Kepailitan
1. Pihak Permohonan Pailit Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak yang mengajukan permohonan pailit.
2. Debitur Pailit Pihak debitur pailit adalah pihak yang dimohonkan pailit ke pengadilan yang berwenang.
3. Hakim Pengadilan Niaga Perkara kepailitan pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh majelis hakim Pengadilan Niaga.
4. Hakim Pengawas Untuk mengawasi pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator, maka dalam keputusan kepailitan, oleh pengadilan harus diangkat seorang hakim pengawas.
5. Kurator. Kurator merupakan salah satu pihak yang cukup memegang peranan dalam suatu proses perkara pailit, karena tugas umum kurator adalah melakukan pengurusan dan atau pemberesan terhadap harta pailit.
Akibat Hukum Pernyataan Pailit Secara umum dengan adanta pernyataan pailit maka terhadap debitur pailit berlakulah hal-hal sebagai berikut :
1) Terjadi sitaan umum terhadap harta kekayaan debitur pailit.
2) Kepailitan ini semata-mata hanya mengenai harta kekayaan saja dan tidak mengenai diri pribadi si debitur pailit.
3) Segala perikatan debitur pailit yang timbul setelah putusan pailit yang diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit. 4) Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para kreditur dan debitur.
5) Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator (Pasal 26 ayat (1) UUK).
6) Semua tuntutan atau gugatan yang bertujuan mendapatkan pelunasan dari harta pailit selama kepailitan harus diajukan dengan laporan untuk pencocokan utang (Pasal 27 UUK).
7) Kreditur yang dijamin dengan Hak Gadai, Hak Tanggungan, Hak hipotik, jaminan fidusia dapat melaksanakan hak agunannya seolah-olah tidak ada kepailitan (Pasal 55 ayat(1) UUK) Pihak kreditur yang mempunyai hak menahan barang milik debitur pailit sampai dibayar tagihannya (hak retensi), tidak kehilangan hak untuk menahan barang debitur pailit tersebur meskipun ada putusan pailit (Pasal 61 UUK) 9) Hak eksekusi kreditur yang dijamin sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan (kreditur separatis/kreditur dengan jaminan khusus) dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator.
Menurut
Joseph E. Stiglitz sebagaimana dikutip oleh Zulkarnain Sitompul, hukum
kepailitan harus mengandung tiga prinsip yaitu :
1. Pertama, peran
utama kepailitan dalam ekonomi kapitalis modern adalah untuk menggalakkan
reorganisasi perusahaan. Hukum Kepalitan harus memberikan waktu cukup cukup bagi
perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan.
2. Kedua, meskipun
tidak dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan kepailitan
telah berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan
politik diantara para pelaku, transformasi struktural perekonomian dan
perkembangan sejarah masyarakat, namun setiap hukum kepailitan bertujuan
menyeimbangkan beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan
menghindari terjadinya likuidasi premature.
3. Ketiga, Hukum
kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan debitur tetapi yang
lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder yang
dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja. Ketentuan kepailitan memang
telah memberikan hak istimewa untuk pembayaran gaji buruh yang terutang. Akan
tetapi bagaimana dengan hak-hak buruh lainnya. Disamping itu juga perlu dilihat
apakah pailit menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya
dislokasi ekonomi yang buruk.
2. Prosedur Kepailitan
Proses pengajuan
permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu pengadilan
niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada. Pengajuan
permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada pasal 2
UU No 37 Tahun 2004 yang telah dibahas sebelumnya oleh penulis. Permohonan
pengajuan pailit diajukan kepada pengadilan melalui panitera. Pengajuan selain
dapat dilakukan oleh kreditur atau lembaga yang diberikan kewenangan yaitu
debitur itu sendiri. Debitur yang melakukan permohonan kepailitan pada
Perseroan Terbatas harus memenuhi syarat sebagai berikut
a. Surat permohonan bermaterai ditujukan
kepada ketua pengadilan niaga
b. Akta pendafataran perusahaan yang
dilagalisir oleh kantor perdagangan
c. Putusan sah Rapat umum Pemegang Saham
(RUPS)
d. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
e. Neraca keuangan terakhir
f. Nama serta alamat debitur dan
kreditur
Syarat yang harus
dilakukan oleh kreditur yang melakukan permohonan kepailitan adalah
a. Surat permohonan yang bermaterai yang
ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan Niaga
b. Akta pendaftaran perusahaan yang
dilegalisir oleh ketua perdagangan
c. Surat perjanjian utang yang ditanda
tangani kedua belah pihak
d. Perincian utang yang tidak terbayar
e. Nama dan alamat masing-masing
kreditur/debitur
Panitera mendaftarkan
permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan niaga dalam jangka waktu paling
lambat 1 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka
waktu paling lambat 2 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.
Sidang pemeriksaan atas permohonan kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak
permohonan di mana dalam hal ini terjadi rapat verifikasi atau pencocokan utang
antara debitur dengan kreditur. Dalam rapat verifikasi atau pencocokan utang
seorang debitor wajib datang sendiri agar dapat memberikan keterangan yang diminta
oleh hakim pengawasmengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit. Pada
rapat pencocokan utang setelah semua pihak hadir baik debitor, kurator, maupun
kreditor, hakim pengawasakan membacakan daftar piutang yang diakui sementara
dan daftar yang dibantah oleh kurator.
Tahap putusan atas
permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila fakta atau
keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Fakta dua atau
lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar
sedangkan perbedaan besarnya utang didalihkan oleh permohonan pailit dan
termohon pailit tidak menghalangi jatuhnya putusan pailit. Putusan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan dimana berdasarkan pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan biaya
murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.
Pada proses pengurusan
harta pailit ada beberapa pihak yang melakukan kepengurusan yaitu:
a. Hakim pengawas yang melakukan pengawasan
pada pengurusan dan pemberesan harta pailit, diatur pada pasal 65 UU No 37
Tahun 2004
b. Kurator, memiliki tugas melakukan
pemberesan harta pailit
Dalam hal kepailitan
terdapat upaya yang dapat dilakukan yaitu perlawanan, kasasi ke Mahkamah Agung,
dan Peninjauan Kembali terhadap keputusan pailit yang mempunyai kekuatan hukum
tetap. Proses pengurusan kepailitan dianggap telah berakhir apabila telah terjadi
hal-hal seperti berikut:
a. Akur atau perdamaian, terjadi ketika
terdapat perjanjian antara debitur pailit dengan para kreditur di mana debitur
menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa ia setelah
melakukan pembayaran tersebut dibebaskan dari sisa utangnya.
b. Insolvensi atas pemberesan harta pailit,
ketika terjadi insolvensi apabila kepailitan tidak ditawarkan akur atau
perdamaian atau tidak dipenuhinya suatu kesepakatan sehingga terjadi keadaan
tidak mampu membayar, sebagaimana diatur pada pasal 178 UU no 37 tahun 2004.
c. Rehabilitasi, permohonan rehabilitasi
dapat diajukan oleh debitur pailit atau ahli warisnya dengan dibuktikan bahwa
kreditur telah menerima seluruh pembayaran piutangnya.
Akibat hukum secara umum
yang terjadi yang disebabkan oleh putusan pailit adalah terhadap harta debitur
akan dilakukan sitaan umum, perikatan debitur yang dibuat setelah putusan
pailit tidak dapat dibayarkan oleh harta pailit, dan perbuatan hukum yang dilakukan debitor
sebelum putusan pailit diucapkan dapat dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan
pada pasal 41 UU No 37 Tahun 2004.
B. Tanggungjawab Hukum Bagi Pengurus Terhadap
Perseroan yang Pailit
1. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan
Perseroan Terbatas (PT)
Pasal 97 ayat (1) UUPT
mewajibkan setiap anggota direksi untuk wajib dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab untuk melakukan pengawasan perseroan untuk kepentingan dan usaha
(tujuan perseroan). Sehingga Direksi bertanggung jawab atas pengurusan dan
perwakilan terhadap perseroan dalam rangka untuk kepentingan dan tujuan
perseroan. Tanggung jawab direksi atas kepailitan PT dijelaskan dalam ketentuan
pasal 104 UUPT, antara lain:
1. Direksi tidak berwenang mengajukan
permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga sebelum
memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana
diatur dalam UU kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Dalam hal kepailitan terjadi karena
kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar
seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak
terlunasi dari harta pailit tersebut.
3. Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi
anggota direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota
direksi dalam jangk waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan.
4. Anggota direksi tidak bertanggung jawab atas
kepailitan perseroan apabila dapat membuktikan:
a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan
atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad
baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik
langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah
terjadinya kepailitan;
5. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi direksi
dari perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga.
Maka dapat diketahui
bahwa berdasarkan pasal 104 ayat (2) dan ayat (3) UUPT, setiap anggota direksi
bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan perseroan, jika
kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian anggota
direksi dan juga bagi anggota direksi yang salah/lalai yang pernah menjabat
sebagai anggota direksi dalam jangka waktu lima tahun sebelum putusan pailit
diucapkan.
Pada ayat (4) memberikan
kesempatan kepada anggota direksi untuk tidak bertanggung jawab atas kepailitan
perseroan, jika anggota direksi dapat membuktikan. Dengan demikian beban
pembuktian ada pada anggota direksi yang bersangkutan. Pembuktian adanya unsur
kesalahan atau kelalain menjadi kunci utama dalam menuntut pertanggungjawaban
anggota direksi. Menurut Schreuder, pengertian kesalahan menurut hukum pidana
menuntut adanya 3 (tiga) unsur berupa:
1. Kelakuan yang bersifat
melawan hukum;
2. Dolus (kesengajaan) atau
culpa (kelalaian);
3. Kemampuan bertanggung jawab
pelaku.
Prof. Sutan Remy Sjahdeini
menyatakan bahwa beliau sependapat dengan sikap pengadilan Amerika Serikat,
bahwa seorang anggota direksi perseroan dalam menjalankan tugasnya hanya
bertanggung jawab apabila kelalaian yang dilakukan adalah kelalaian berat
(gross negligence). Meskipun demikian tidaklah mudah untuk membedakan mana
perbuatan hukum direksi yang bersifat kelalaian ringan dan mana perbuatan
direksi yang bersifat kelalaian berat, karena penilaian tersebut merupakan
sesuatu yang bersifat subjektivitas.
Tindakan-tindakan yang
dapat dilakukan terhadap Direksi selaku pengurus perseroan terbatas antara
lain:
1. Melakukan penahanan terhadap direksi selaku
pengurus perseroan terbatas (pasal 93 sampai dengan pasal 95 UU Kepailitan)
Pengadilan dengan putusan
pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas,
permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih dan
setelah mendengar hakim pengawas, dapat melakukan penahanan terhadap terhadap
direksi selaku pengurus perseroan pailit baik di rumah tahanan negara (rutan)
maupun di rumah Direksi tersebut, dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh
hakim pengawas. Masa penahanan yang berlaku palin lama 30 hari terhitung sejak
penahanan dilaksanakan dan dapat diperpanjang selama 30 hari oleh pengadilan
atas usul hakim pengawas atau atas permintaan kurator atau seorang kreditor
lebih setelah mendengar hakim pengawas. Biaya penahanan dibebankan kepada harta
pailit sebagai utang harta pailit sebagai utang harta pailit.
Pengadilan juga berwenang
melepaskan direksi dari tahanan atas usul hakim pengawas atau atas permohonan
direksi (mewakili debitur pailit), dengan jaminan uang dari pihak ketiga bahwa
direksi (mewakili debitur pailit) setiap waktu akan menghadap atas panggilan
pertama.
2. Meminta kehadiran Direksi pada sesuatu
perbuatan yang berkaitan dengan harta pailit (pasal 96 UU Kepailitan)
Jika direksi yang
ditahan, dalam hal diperlukan kehadiran kehadiran direksi pada sesuatu
perbutaan yag berkaitan dengan harta pailit maka direksi dapat diambil dari
tempat tahan tersebut atas perintah hakim pengawas. Perintah hakim pengawas
tersebut dilaksanakan oleh kejaksaan.
3. Direksi tidak boleh meninggalkan domisilinya
(pasal 97 UU Kepailitan)
Selama kepailitan,
direksi selaku pengurus PT tidak boleh meninggalkan domisilinya tanpa izin dari
hakim pengawas.
4. Direksi wajib menghadap hakim pengawas,
kurator atau panitian kreditor apabila dipanggil (pasal 110 ayat (1) UU
Kepailitan)
Direksi selaku pengurus
perseroan wajib menghadap hakim pengawas, kurator/panitia kreditor apabila
dipanggil untuk memberikan keterangan.
5. Direksi wajib hadir dalam rapat pencocokan
piutang (pasal 121 ayat (1) dan (2) UU Kepailitan)
Direksi selaku pengurus
perseroan wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piuang agar dapat memberikan
keterangan yang diminta oleh hakim pengawas mengenai sebab kepailitan dan
keadaan harta pailit. Kreditor juga dapat meminta keterangan dari Direksi
selaku pengurus PT mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui hakim pengawas.
2. Tanggung Jawab Dewan Komisaris atas
Kepailitan Perseroan Terbatas
Pasal 115 mengatur sejauh
mana tanggung jawab anggota DK atas kepailitan Perseroan. Sekiranya Perseroan
dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, baik hal itu terjadi atas permintaan
sendiri oleh Direksi setelah mendapat persetujuan RUPS melalui proses voluntary
petition maupun oleh pihak ketiga melalui proses involuntary petition.
a. Faktor yang menyebabkan anggota Dewan
Komisrais Bertanggung Jawab Atas Kepailitan Perseroan
Pasal 115 UU Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa ikutnya anggota Dewan
Komisaris bertanggung jawab atas Kepailitan Perseroan, apabila terpenuhi
persyaratan atau digantungkan pada faktor berikut:
1. Kepailitan terjadi
karena kesalahan atau kelalian pengawasan yang dilakukan Dewan Komisaris
Syarat atau faktor
pertama yang dapat menyeret anggota Dewan Komisaris selanjutnya disebut dengan
DK ikut memikul tanggung jawab atas kepailitan terjadi sebagai akibat kesalahan
atau kelalaian DK melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada
pengurusan yang dilaksanakan Direksi.
2.Harta kekayaan
perseroan tidak mencukupi membayar seluruh kewajiban
Syarat kedua ternyata
harta pailit perseroan “tidak mencukupi” membayar seluruh kewajiban Perseroan
kepada para kreditor. Dalam hal demikian, setiap anggota DK ikut bertanggung
jawab scara tanggung renteng untuk membayar kewajiban yang belum terlunasi dari
harta kekayaan Perseroan. Tanggung jawab secara tanggung renteng yang
dijelaskan diatas berlaku juga bagi anggota DK yang sudah tidak menjabat 5
(lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, asal terpenuhi syarat
yang dijelaskan diatas.
b. Faktor yang dapat menggugurkan tanggung
jawab anggota Dewan Komisaris atas kepailitan Perseroan
Pasal 115 ayat (3) memberi
kemungkinan kepada anggota DK membebaskan diri dari keikutsertaan
bertanggungjawab pribadi dan solider atas kepailitan Perseroan. Syarat yang
dapat membebaskannya digantungkan pada faktor kemampuan membuktikan hal-hal
berikut ini:
a) Kepalilitan tersebut bukan karena kesalahan
atau kelalaiannya
b) Telah melakukan tugas pengawasan dengan
iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai maksud
dan tujuan Perseroan
c) Tidak mempunyai kepentingan pribadi,
langsung/tidak langsung atas tindakan pengurusan oleh direksi yang
mengakibatkan kepailitan
d) Telah memberikan nasihat ke direksi untuk
mencegah terjadinya kepailitan
Syarat pembebasan
tanggung jawab pribadi ini bersifat “kumulatif” bukan bersifat “alternatif”.
Oleh karena itu supaya dapat bebas dan lepas memikul tanggungjawab kepailitan
itu, anggota DK yang bersangkutan harus mampu membuktikan hal- hal yang
disebutkan pada a sampai dengan d.
1.4
Konsekwensi Ekonomi bagi Perusahaan
Pada saat dijatuhkannya suatu putusan
pailit oleh pengadiilan, akan membawa dampak ataupun akibat baik terhadap
debitur pailit maupun terhadap harta pailit. Secara umum akibat dijatuhkannya
pailit adalah sebagai berikut :
1. Debitur
kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurus atas kekayaan harta bendanya
(asetnya), baik menjual, menggadai, dan lain sebagainya, serta segala sesuatu
yang diperoleh selama kepailitan sejak tanggal putuusan pernyataan pailit
diucapkan.
2. Utang-utang
baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya.
3. Untuk
melindungi kepentingan kreditur, selama putusan atas permohonan pernyataan
pailit belum diucapkan, kreditur dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
untuk :
a) Meletakkan
sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur.
b) Menunjuk
kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur, menerima
pembayaran kepada debitur, pengalihan atau pengagunan kekayaan debitur (Pasal
10).
4. Harus
diumumkan di dua surat kabar (Pasal 15 Ayat 4).
5. Harta
pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para kreditor dan debitor,
sedangkan Hakim Pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya
kepailitan.
6. Tuntutan
dan gugatan menangani hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau
terhadap kurator.
7. Semua
tuntutan atau gugatan yang bertujuan untuk mendapatkan pelunasan suatu
perikatan dari harta pailit, dan dari harta debitor sendiri selama kepailitan
harus diajukan dengan cara melaporkannya untuk dicocokan.
8. Kreditor
yang dijamin dengan Hak Gadai, Hak Fidusia, Hak Tanggungan, atau hippotek dapat
melaksanakan hak angunannya seolah-olah tidak ada kepailitan.
9. Hak
eksekutif kreditor yang dijamin dengan hak-hak diatas serta pihak ketiga, untuk
dapat menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau
kurator, ditangguhkan maksimum untuk waktu 9 hari setelah putusan pailit
diucapkan.
Sebagaimana
kepailitan bisa berakibat pada hilangnya segala hak debitor untuk mengurus
segala harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit tetapi putusan
pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitur kehilangan kecakapannya untuk
melakukan perbuatan hukum. Kewenangan debitor atas harta kekayaanny akan
diambil oleh kurator sejak jatuhnya putusan pernyataan pailit. Sesudah
pernyataan pailit maka segala perikatan yang dibuat debitur dengan pihak ketiga
tidak dapat dibayar dari harta pailit atau dapat menambah harta pailit. Oleh
karena itu, gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh
pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan yang secara
langsung diajukan kepada debitor pailit hanya dapat diajukan oleh atau terhadap
kurator. Begitu pula mengenai segala eksekusi pengadilan terhadap harta pailit.
Eksekusi pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah
dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan, kecuali eksekusi itu sudah
demikian jauh hingga hari pelelangan sudah ditentukan dengan izin hakim
pengawas kurator dapat meneruskan pelelangan tersebut.
Kepailitan menimbulkan
akibat yuridis yang bisa tejadi akibat dari suatu kepailitan atau akibat hukum
yang terjadi jika debitor dinyatakan pailit. Akibat yuridis tersebut berlaku
kepada debitor dengan dua metode pemberlakuan yaitu :
1. Berlaku
Demi Hukum
Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum
setelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun setelah
berakhirny kepailitan. Dalam hal ini, Pengadilan Niaa, Hakim Pengawas Kurator,
Kreditor, dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat
memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut.
2. Berlaku
Alasan Hukum (Rule of Reason)
Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan
berlaku rule of reason maksudnya bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis
berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu,
setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan.
Penundaan
Pembayaran (PKPU)
Penundaan kewajiban pembayaran utang
diberikan kepada debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan
membayar utang-utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih dengan maksud
untuk mengajukan rencana perdammaian yang meliputi tawaran pembayara sebagian
atau seluruh utang kepada debitor dengan tujuan :
a. Debitur
untuk meminta tambahan waktu agar memperbaiki keadaan ekonominya yang memburuk
sehingga mampu melunasi utag dilain waktu.
b. Memungkinkan
seseorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada kesulitan pembayaran dan
untuk menghindari dijatuhkannya pernyataan kepailitan.
Permohonan penundaan pembayaran itu harus
diajukan oleh debitor kepada pengadilan dan oleh penasihat hukumnya, disertai
dengan :
a. Daftar-daftar
para kreditor beserta piutangnya masing-masing.
b. Daftar
harta kekayaan(aktiva pasiva) dari debitor.
c. Rencana
perdamaian yang disusun oleh debitor.
Kesimpulan
Berdasarkan
apa yang telah diuraikan diatas, maka dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan
intisari permasalahan, adalah sebagai berikut. Proses pengajuan permohonan
pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu pengadilan niaga yang
berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada. Pengajuan permohonan
pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada pasal 2 UU No 37
Tahun 2004. Permohonan pengajuan pailit diajukan kepada pengadilan melalui
panitera. Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan
niaga dalam jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak tanggal
permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung sejak
tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan pengadilan mempelajari
permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan
kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak permohonan. Tahap
putusan atas permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila
fakta atau keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Putusan
pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan
pernyataan pailit didaftarkan dimana berdasarkan pada asas peradilan, cepat,
sederhana dan biaya murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.
Daftar Pustaka
Silondae, Arus Akbar. 2011. Pokok Pokok Hukum Bisnis.
Jakarta : Salemba Empat.
Saliman, Abdul R. 2011. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan:
Teori dan Contoh Kasus. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Simatupang, Richard Burton. 2007. Aspek Hukum Dalam
Bisnis, Jakarta: Rineka Cipta.
Daryanto,
Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya, 1997.
Munir
Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar