Cari Blog Ini

Selasa, 24 Oktober 2017

Waralaba

Oktober 24, 2017 0 Comments
Tujuan Pembelajaran
1.    Mengetahui pengertian Bisnis Waralaba
2.    Mengetahui jenis-jenis bisnis waralaba
3.    Memahami keuntungan dan kerugian bisnis waralaba
4.    Memahami akad bisnis walaba
5.    Mengetahui dasar hukum bisnis waralaba

    A.    Pengertian Bisnis Waralaba

Waralaba atau yang sering disebut dengan istilah “franchise” sekarang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, yang ditindaklanjuti lagi dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
Dari kedua Peraturan tersebut diatas; maka yang dimaksud dengan Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan, atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan jasa.
Maka dari pengertian tadi ada beberapa unsur yang terkandung dalam pengertian waralaba sebagai berikut :
1.     Waralaba adalah suatu perikatan, yaitu perikatan yang lahir karena perjanjian antara dua pihak. Pihak pertama disebut dengan pemberi waralaba dan pihak kedua disebut sebagai penerima waralaba.
Sebelum membuat perjanjian, pemberi waralaba harus memberikan keterangan pada penerima waralaba secara tertulis dan benar setidak-tidaknya mengenai hal-hal sebagai berikut (pasal 2 PP No.16 Tahun 1997);
a.    Nama pihak pemberi waralaba berikut keterangan mengenai kegiatan bisnis/usaha yang diwaralabakan; pemberi waralaba ini dapat perorangan dapat juga berupa badan usaha. Karena itu harus dijelaskan nama/identitas pemberi waralaba, pengalaman mengenai keberhasilan dan kegagalan selama menjalankan bisnis/usaha yang akan diwaralabakan, keterangan mengenai penerima waralaba yang pernah dan masih dalam perikatan dan kondisi keuangannya.
b.    Hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khass usaha yang diwaralabakan.
c.    Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi Waralaba, antara lain mengenai cara pembayaran, ganti rugi, wilayah pemasaran dan pengawasan mutu.
d.    Bantuan dan fasilitas yang ditawarkan pemberi waralaba kepada penerima waralaba.
e.    Hak dan kewajiban pemberi dan penerima waralaba.
f.      
g.    Pengakhiran, pembatalan dan perpanjangan perjanjian waralaba serta hal-hal lain yang dianggap perlu untuk diketahui penerima waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian waralaba.
2.     Waralaba adalah hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha. Hak atas kekayaan intelektual antara lain merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang dan paten. Dan yang dimaksud dengan penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemiliknya. 

     B.    Jenis-jenis Waralaba atau Franchise.
Hasil gambar untuk logo kfc   Hasil gambar untuk logo pizza hut

Waralaba dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:
a.       Waralaba merek dagang dan produk
Waralaba merek dagang dan produk adalah pemberi waralaba memberikan hak kepada penerima waralaba untuk menjual produk yang dikembangkan oleh pemberi waralaba disertai dengan izin untuk menggunakan merek dagangnya. Atas pemberian izin pengunaan merek dagang tersebut pemberi waralaba mendapatkan suatu bentuk bayaran royalty di muka, dan selajutnya dia juga mendapat keuntungan dari penjualan produknya. Misalnya: SPBU menggunakan nama/merek dagang PERTAMINA.
b.      Waralaba format bisnis
Waralaba format bisnis adalah pemberian sebuah lisensi oleh seseorang kepada pihak lain, lisensi tersebut memberikan hak kepada penerima waralaba untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang atau nama dagang pemberi waralaba dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih menjadi terampil dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus-menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.

     C.      Keuntungan dan Kerugian Waralaba
1.      Keuntungan bagi pemberi waralaba (franchisor).
a.     Franchisor  akan mempunyai lebih banyak waktu untuk memikirkan kebijakan untuk mengembangkan bisnis yang diwaralabakan tersebut.
b.    Organisasi franchisor mempunyai kemampuan untuk memperluas jaringan secara lebih cepat pada tingkat nasional dan tentunyapun internasional dengan menggunakan modal yang resikonya seminimal mungkin.
c.     Franchisor  akan lebih mudah untuk melakukan eksploitasi wilayah yang belum masuk dalam lingkungan organisasinya.
d.    Franchisor  cenderung untuk tidak memiliki asset outlet dagang sendiri. Tanggung jawab bagi aset tersebut diserahkan pada franchisee yang memilikinya.
e.     Seorang franchisor yang melibatkan bisnisnya pada kegiatanmanufaktur/pedagang besar bisa mendapatkan distribusi yang lebih luas dan kepastian bahwa ia mempunyai outlet untuk prooduknya
2.      Keuntungan bagi penerima waralaba (franchisee).
a.     Franchisee mendapatkan insentif dengan memiliki bisnis sendiri yang memiliki keuntungan tambahan dari bantuan terus-menerus franchisor, karenafranchisee adalah pengusaha independen yang beroperasi di dalam kerangka perjanjian franchise.
b.    Di dalam banyak kasus, bisnis franchisee mendapat keuntungan dari operasi di bawah nama yang telah mapan dalam pandangan dan fikiran masyarakat.
c.     Franchisee biasanya akan membutuhkan modal yang lebih kecil dibandingkaan bila ia mendirikan bisnis secara mandiri, karena franchisor melaluhi operasi percobaannya telah menghapuskan biaya-biaya yang tidak perlu.
3.       Kerugian bagi pemberi waralaba (franchisor).
a.     Beberapa franchisee cenderung menganggap dirinya independent.
b.    Franchisor  harus memiliki keyakinan untuk menjamin bahwa standar kualitas barang dan jasa dijaga melalui rantai waralaba.
c.     Ada franchisee yang tidak tertarik pada peluang-peluang yang mereka dapatkan dari bisnis tersebut.
d.    Franchisor  khawatir bahwa semua hasil kerja dan usaha yang ia berikan dalam pelatihan kepada franchisee hanya akan menghasilkan pesaing dimasa mendatang.
e.     Adanya kemungkinan terjadinya kesulitan untuk mendapatkan kerja sama darifranchisee.
f.     Kemungkinan terdapat kesulitan-kesulitan dalam rekrutmen orang-orang yang cocok sebagai franchisee untuk bisnis tertentu.
4.       Kerugian bagi penerima waralaba (franchisee).
a.       Tidak dapat dihindari bahwa hubungan antara franchisor dengan franchiseepasti melibatkan penekanan kontrol, karena kontrol tersebut akan mengatur kualitas jasa dan produk yang akan diberikan kepada masyarakat melaluhifranchisee.
b.      Franchisee harus membayar kepada franchisor untuk jasa-jasa yang didapatkannya dan untuk penggunaan system, yaitu dengan uang franchise(franchise fee) pendahuluan dan uang franchise terus menerus.
c.       Kesukaran dalam menilai kualitas franchisor.
d.      Kontrak franchise akan berisi beberapa pembatasan terhadap bisnis yang difranchisekan.
e.     Franchisee mungkin akan menemukan dirinya menjadi terlalu tergantung terhadap franchisor

     D.   Akad atau Perjanjian Waralaba atau Franchise.
Pada dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk menggunakan system, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif. Seorang atau suatu pihak yang menerima waralaba tidaklah dimungkinkan untuk melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang berada dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba yang diperoleh olehnya dari pemberi waralaba.[6]
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh Gunawan Widjaya tersebut di atas, maka dalam pembuatan perjanjian atau kontrak harus dibuat secara terang dan sejelas-jelasnya, hal ini disebabkan saling memberi kepercayaan dan mempunyai harapan keuntungan bagi kedua pihak akan diperoleh secara cepat. Karena itu kontrak waralaba merupakan suatu dokumen yang di dalamnya berisi suatu transaksi yang dijabarkan secara terperinci.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan kontrak dibuat secara terperinci, yang terdiri dari:
a.            Perencanaan dan identifikasi kepentingaan franchisor sebagai pemilik, hal ini tentunya akan menyangkut hal-hal seperti merek dagang, hak cipta dan system bisnis franchisor.
b.           Sifat serta luasnya hak-hak yang diberikan kepada franchisee, hal ini menyangkut wilayah operasi dan pemberian hak-hak secaraa formal untuk menggunakan merek dagang, nama dagang dan seterusnya.
c.            Jangka waktu perjanjian. Prinsip dasar dalam mengatur hal ini bahwa hubunganfranchise harus dapat bertahan pada jangka waktu yang lama, atau setidak-tidaknya selama waktu lima tahun dengan klausula kontrak franchise dapat diperpanjang.
d.           Sifat dan luasnya jasa-jasa yang diberikan, baik pada masa-masa awal maupun selanjutnya. Ini akan menyangkut jasa-jasa pendahuluan yang memungkinkanfranchisee untuk memulai, ditraining, dan dilengkapi dengan peralatan untuk melakukan bisnis. Pada masa selanjutnya, franchisor akan memberikan jasa-jasa secara terperinci hendaknya diatur dalam kontrak dan ia juga diperkenankan untuk memperkenalkan dan mengembangkan ide-ide baru.
e.            Kewajiban-kewajiban awal dan selanjutnya dari franchisee. Ini akan mengatur kewajiban untuk menerima beban keuangan dalam mendirikan bisnis sesuai dengan persyaratan franchisor serta melaksanakan sesuai dengan system operasi, akunting dan administrasi lainnya untuk memastikan bahwa informasi yang penting tersedia untuk kedua belah pihak. Sistem-sistem ini akan dikemukakan dalam petunjuk operasional yang akan disampaikan kepada franchisee selama pelatihan dan akan terus tersedia sebagai pedoman/referensi setelah ia membuka bisnisnya.
f.            Kontrol operasional terhadap franchisee. Kontrol-kontrol tersebut untuk memastikan bahwa standar operasional dikontrol secara layak, karena kegagalan untuk mempertahankan standar pada satu unit franchisee akan mengganggu keseluruhan jaringan franchise.
g.           Penjualan bisnis. Salah satu kunci sukses dari franchise adalah motivasi yang ditanamkannya kepada franchisee, disertai sifat kewirausahaan franchisee. Seorang franchisor hendaknya sangat selektif ketika mempertimbangkan lamaran dari franchisee, terutama terhadap orang-orang yang akan bergabung dengan jejaring dengan membeli bisnis dari franchise yang mapan.
h.           Kematian franchisee. Untuk memberikan ketenangan bagi franchisee, harus dibuat ketentuan bahwa franchisor akan memberikan bantuan untuk memungkinkan bisnis dipertahankan sebagai suatu asset yang perlu direalisir, atau jika tidak bisa diambil alih oleh ahli warisnya apabila ahli waris tersebut memenuhi syarat sebagaifranchisee.
i.             Arbitrase. Dalam kontrak sebaiknya ditentukan mengenai penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dengan melaluhi arbitrase, dengan harapan penyelesaiannya akan lebih cepat, murah dan tidak terbuka sengketanya kepada umum.
j.             Berakhirnya kontrak dan akibat-akibatnya. Dalam kontrak harus selalu ada kektentuan yang mengatur mengenai berakhirnya perjanjian. Perlu ditambahkan dalam kontrak,  franchisee mempunyai kewajiban selama jangka waktu tertentu untuk tidak bersaing dengan franchisor atau franchisee lainnya, juga tidak diperkenankan menggunakan sistem atau metode franchisor.[7]
5.      Waralaba menurut undang-undang
Di Indonesia, sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchisee tidak sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi produknya.[8] Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baik bagifranchisor maupun franchisee. Karenanya, kita dapat melihat bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang jelas, waralaba berkembang pesat, misalnya di AS danJepang. Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum dalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut[9]:
·         Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
·         Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba
·         Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
·         Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
·         Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam bidang waralaba di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis waralaba jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payung hukum yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di Indonesia, khususnya di bidang rumah makan siap saji sangat pesat. Hal ini ini dimungkinkan karena para pengusaha kita yang berkedudukan sebagai penerima waralaba (franchisee) diwajibkan mengembangkan bisnisnya melalui master franchise yang diterimanya dengan cara mencari atau menunjuk penerima waralaba lanjutan. Dengan mempergunakan sistem piramida atau sistem sel, suatu jaringan format bisnis waralaba akan terus berekspansi.

Ada beberapa asosiasi waralaba di Indonesia antara lain APWINDO (Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia), WALI (Waralaba & License Indonesia), AFI (Asosiasi Franchise Indonesia). Ada beberapa konsultan waralaba di Indonesia antara lain IFBM, The Bridge, Hans Consulting, FT Consulting, Ben WarG Consulting, JSI dan lain-lain. Ada beberapa pameran Waralaba di Indonesia yang secara berkala mengadakan roadshow diberbagai daerah dan jangkauannya nasional antara lain International Franchise and Business Concept Expo (Dyandra),Franchise License Expo Indonesia ( Panorama convex), Info Franchise Expo ( Neo dan Majalah Franchise Indonesia).

Beberapa tips untuk usaha waralaba 


Senin, 23 Oktober 2017

Arbitrase Sebagai Alternativ Penyelesaian Sengketa Bisnis

Oktober 23, 2017 0 Comments


ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS
Hasil gambar untuk gambar tentang arbitrase
Tujuan Pembelajaran
1.      Untuk mengetahu alasan perusahaan memilih arbitrase
2.      Untuk mengetahui lembaga arbitrase dan badan arbitrase di Indonesia
3.      Untuk mengetahui dasar hokum perkembangan arbitrase di Indonesia
4.      Untuk mengetahui prosedur perjanjian arbitrase

      1.      DASAR PERTIMBANGAN MENAPA MEMILIH ARBITRASE
Proses penyelesaian sengketa secara konvensional dengan cara Litigasi di Pengadilan dirasakan para pelaku bisnis kurang efektif dan efisien, hal ini karena dianggap dunia peradilan belum melaksanakan tugas sebagaimana mestinya, proses sengketa memakan waktu yang panjang karena adanya proses pemeriksaaan banding, kasasi dan peninjauan kembali, bersifat formalistic dan sangat teknis, dapat menimbulkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa, cenderung menimbulkan masalah baru, biaya tinggi bahkan akhirnya kemenangan perkara seringkali bersifat hanya diatas kertas, sehingga para pelaku bisnis mencari cara-cara lain yang dirasakan dapat merespons kepentingan mereka dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang mereka hadapi melalui alternative penyelesaian sengketa diluar proses litigasi di pengadilan.
Penggunaan lembaga arbitrase sebagai pilihan tempat penyelesaian sengketa bisnis pada umumnya lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomis daripada pertimbangan yuridis, hal ini karena proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut kalangan pelaku usaha lebih bersifat menguntungkan dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui lembaga litigasi di Pengadilan.
Keunggulan Arbitrase :
·                Proses sengketa cepat
·                Putusan bersifat win win solution
·                Pemeriksaan bersifat rahasia (confidensial)
·                Biaya lebih ringan
·                Bersifat flexible
·                Tidak bersifat formal
·                Penyelesaian dilaksanakan secara professional (oleh ahlinya)
·                Arbitratornya dipilih para pihak
·                Putusanya bersifat final dan mengikat (final & banding)

Kelemahan Arbitrase :
1.             Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawa ke Badan Arbitrase tidak mudah, kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya melalui arbitrase merupakan unsure yang sangat penting untuk penyelesaian suatu persoalan.
2.             Biasanya arbitrase hanya menangani perkara yang dihadapi perusahaan besar dan bonafide.
3.             Kurangnya unsure penalty.
4.             Kurangnya power lembaga arbitrase untuk menghadirkan saksi, barang bukti, dll.
5.             Kurangnya power dalam hal penegakkan hukum dan eksekusi putusannya.
6.             Kemungkinan timbulnya putusan yang bertentangan antara suatu dengan yang lainnya, karena sistem preseden tidak dianut.
7.             Kualitas putusannya sangat tergantung pada kualitas arbriternya.
8.             Dapat menimbulkan rasa permusuhan/antipasti terhadap pengadilan.
9.             Untuk mempermudah kehendak para pihak yang bersengketa dan membawa ke Badan Arbritase tidak mudah, kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya melalui arbitrase merupakan unsur yang sangan penting untuk penyelesaian suatu persoalan.



     2.      LEMBAGA ARBITRASE DAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI)

Hasil gambar untuk lembaga arbitrase

Menurut pasal 1 angka 8 UU No. 30 tahun 1999 lembaga arbitrase adalah “badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase”.
Jenis lembaga arbitrase ada dua (2):
·                     Arbitrase adhoc (arbitrase volunteer, dibentuk khusus)
·                     Arbitrase institusional (bersifat permanen)
Ciri-ciri lembaga arbitrase institusional yang berbeda dengan Ad Hoc adalah :
1.                  Arbitrase institusional sengaja didirikan secara permanen, sedangkan arbitrase Ad Hoc sifatnya sementara dan akan bubar setelah masalah selesai.
2.                  Arbitrase institusional sudah ada / sudah berdiri sebelum terhadi suatu perselisihan, sedangkan arbitrase Ad Hoc dibuat setelah terjadinya perselisihan.
3.                  Karnea bersifat permanen, arbitrase institusional dibuat lengkap dengan struktur organisasi, tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang pada umumnya tercantum dalam anggaran dasar pendirian lembaga tersebut, sedangkan arbitrase ad hoc tidak ada.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) :
BANI didirikan di Jakarta tujuh (7) tahun setelah berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 mengenai pokok – pokok kekuasaan kehakiman (LN No. 7 – 1974) yang tepatnya pada tanggal 3 Desember 1977.
      3.      DASAR HUKUM PERKEMBANGAN ARBITRASE DI INDONESIA DAN RUANG LINGKUPNYA
1.                       Pasal II AP UUD 1945, ketentuan Hukum Kolonial masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan diatur oleh dan menurut UUD 1945.
2.                       Ketentuan RV masih tetap dipakai sebagai dasar pemeriksaan Arbitrase di Indonesia.
3.                       (HIR – Hierziene Indonesich Reglement) adalah kitab Undang – Undang Hukum Acara Perdata bagi gol Bumiputra ps. 377 HIR Jo 705 RBG.
4.                       Reglement Op de Burgerlijke Rechts Vordering (RV) (Kitab UU Hukum Perdata bagi gol Eropa / yang dipersamakan) psl 615 – 651.
5.                       Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU no. 14/1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35/1999 tentang ketentuan – ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
“penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (Arbitrase) tetap dibolehkan tetapi putusan arbitrase hanya mempunyai ketentuan EXCENTORIAL setelah memperoleh ijin di pengadilan.
6.                       Tanggal 12 Agustus 1999, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Hukum.
Note :
§      Pasal 377 HIR; bilamana orang bumiputra & timur asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pemisah mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.
§      Asas kebebasan berkontrak : Psl. 1320 Jo 1338 ayat (1) KUHPerdata.
     4.      PERJANJIAN ARBITRASE DAN PROSEDURNYA
Perjanjian Arbitrase merupakan suatu bentuk perjanjian yang mensyaratkan harus dibuat secara tertulis, hal ini dapat dilihat dari ketentuan : (pasal 1 butir 3 UU no. 30 Tahun 1999) yang menyebutkan : “Perjanjian Arbitrase adalah merupakan suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya suatu sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”.
Dalam rumusan pasal 1 butir 3 UU No. 30 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa perjanjian arbitrase adalah merupakan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya melalui lembaga arbitrase dimana kesepakatan tersebut dapat dibuat para pihak baik sebelum atau setelah timbulnya sengketa, sehingga dakam hukum arbitrase dikenal dua (2) bentuk perjanjian arbitrase, yaitu Pactum de Compromitendo dan Akta Kompromis.
Disamping mengikat (pasal 11 UU No. 30 Tahun 1999), para pihak yang membuat perjanjian arbitrase juga mengikat terhadap lembaga peradilan, hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999;
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase”
Proses Beracara dalam Arbitrase :
Menurut pasal 34 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999; apabila para pihak menyepakati sengketa yang dihadapi akan diselesaikan melalui BANI, maka proses dan prosedurnya sebagai berikut :
1.    Telah ada kesepakatan diantara para pihak bahwa penyelesaian perselisihan yang telah atau akan timbul akan diselesaikan oleh BANI dan menurut prosedur badan arbitrase tersebut.
2.    Pemohon mengajukan permohonan kepada BANI dengan membayar biaya pendaftaran dan biaya administrasi dan biaya persidangan. Menurut ketentuan pasal 77 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 biaya administrasi dan persidangan menjadi tanggung jawab pihak yang kalah. Dengan memperhatikan ketentuan ini, prosedur yang kedua tidak berlaku.
3.    Permohonan akan ditolak paling lama 30 hari jika jelas bahwa penyelesaian perselisihan tersebut bukan kewenangan BANI.
4.    Ketua BANI menyampaikan salinan surat permohonan kepada termohon.
5.    Termohon mengajukan jawaban tertulis paling lama 30 hari sejak diterimanya salinan permohonan.
6.    Ketua BANI mengirim jawaban termohon kepada pemohon, sekaligus.
7.    Kepada kedua belah pihak diperintahkan untuk segera menghadap ke persidangan paling lama 14 hari sejak perintah dikeluarkan.
8.    Jika pemohon tidak hadir dalam persidangan, permohonan arbitrasenya digugurkan.


9.    Jika termohon tidak hadir dan tidak hadir juga setelah dipanggil secara patut untuk kedua kalinya, majelis akan memutuskan perselisihan secara verstek.